Anak spesial yang dimaksudkan disini adalah anak dengan kebutuhan yang khusus. Pendidikan bukan hanya bisa dikecap oleh anak-anak normal lainnya. Tetapi anak "spesial" inipun juga bisa mengecap pendidikan sama halnya dengan anak normal.Pendidikan yang bagaimanakah yang pas untuk anak "spesial" ini?
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, dan anak dengan gangguan kesehatan.
Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus ini adalah pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Manfaat dari pendidikan inklusi.
Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa merasa terganggu sedikitpun
Lingkup pengembangan kurikulum pendidikan inklusi
1. alokasi waktu,
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
Pengembangan Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
Kendala/kelemahan pendidikan inklusi
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
Solusi
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa. Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus
http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/40-artikel/115-pendidikan-inklusi-pendidikan-terhadap-anak-berkebutuhan-khusus